Browser Kamu, dengan resolusi berjalan baik di Website ini

PRAKTIK KEHIDUPAN DI PULAU ADONARA

Tuesday, January 8, 2008


PENDAHULUAN

Pemberian mas kawin berupa gading gajah di Pulau Adonara
sekarang ini masih dipraktikkan secara ketat. Tidak ada perkawinan tanpa gading. Batang gading itu tidak hanya memiliki nilai adat, tetapi
juga kekerabatan, harga diri perempuan, dan nilai ekonomis yang tinggi.
Meski perkembangan ilmu dan teknologi informasi terus merembes
sampai ke pelosok-pelosok desa di Pulau Adonara,
mas kawin berupa gading gajah tidak pernah hilang dari kehidupan mereka.
Kehidupan orang Adonara secara keseluruhan berada dalam suasana
adat yang kuat, yang mengikat.
Adat istiadat dalam kehidupan masyarakat Adonara (Solor) khususnya dan Flores Timur
(Lembata) pada umumnya disebut budaya Lamaholot.
Budaya Lamaholot demikian melekat dalam kehidupan masyarakat setempat. Setiap warga Lamaholot juga harus mampu menguasai bahasa
daerah Lamaholot dan mengikuti tata krama daerah itu.
"Gading gajah tidak hanya mengikat hubungan perkawinan antara suami-istri,
atau antara keluarga perempuan dan keluarga laki-laki,
tetapi seluruh kumpulan masyarakat di suatu wilayah.
Perkawinan itu memiliki nilai sakral yang meluas, suci, dan bermartabat yang lebih sosialis,"
Gading gajah merupakan simbol penghargaan tertinggi terhadap pribadi seorang gadis yang
hendak dinikahi.
Penghargaan atas kepercayaan, kejujuran, ketulusan, dan keramahan yang dimiliki
sang gadis. Kesediaan menyerahkan mas kawin gading gajah kepada keluarga wanita pertanda
membangun suasana harmonis bagi kehidupan sosial budaya setempat.
Meski di Adonara tidakmemiliki gajah, kaum pria tidak pernah gentar memenuhi pemberian mas kawin gading gajah.
Sampai tahun 1970-an, gadis Adonara tidak boleh keluar rumah tanpa perlindungan,
pengawalan, dan pengawasan pihak keluarga. Mereka bahkan tidak bisa keluar rumah pada malam hari. Tidak ada perkawinan tanpa gading. Pernikahan gadis asal Adonara selalu ditandai dengan pembicaraan mas kawin gading gajah.

Lima jenis

Di masyarakat Adonara dikenal lebih kurang lima jenis gading. Namun, jika sang pria menikahi
perempuan yang masih berhubungan darah dengannya, maka dia akan kena denda, yakni memberi tambahan dua jenis gading sehingga totalnya menjadi tujuh jenis gading. Kelima jenis gading itu adalah :

 Bala belee (gading besar dan panjang) dengan panjang satu depa orang dewasa.
 Bala kelikene (setengah depa sampai pergelangan tangan)
 Kewayane (setengah depa sampai siku)
 Ina umene (setengah depan sampai batas bahu)
 Opu lake (setengah depa, persis belah dada tengah).

Dua jenis gading tambahan yang biasa dijadikan sebagai denda ukurannya ditentukan sesuai dengan kesepakatan.
Satuan yang dipakai untuk menentukan besar atau kecil sebatang gading adalah depa, satu
depa orang dewasa (rentangan tangan dari ujung jari tengah tangan kiri ke ujung jari tengah tangan kanan).

Juru bicara keluarga biasanya memiliki keterampilan memahami bahasa adat, tata cara
pemberian, ungkapan-ungkapan adat, dan bagaimana membuka dan mengakhiri setiap pembicaraan.

Tiap-tiap juru bicara harus mengingatkan keluarga wanita atau pria agar tidak melupakan segala hasil kesepakatan bersama.
Juru bicara pria bersama orangtua calon pengantin pria selanjutnya mendatangi keluarga
wanita.

Kedatangan pertama itu untuk menyampaikan niat sang pria menikahi gadis pujaannya.
Biasanya pasangan yang saling jatuh hati ini masih memiliki hubungan kekerabatan, yang sering
disebut anak om atau tanta.

Kedekatan hubungan ini memang direstui dan dikehendaki adat, tetapi sering bertentangan
dengan hukum agama. Kalau ada kasus-kasus seperti itu, hal tersebut juga dibahas pada saat koda pake, pembahasan resmi mengenai adat perkawinan antara keluarga besar calon pengantin pria dan keluarga besar calon pengantin wanita.

Oleh karena itu, kedua pihak juga perlu menentukan waktu pertemuan bersama calon
pengantin masing-masing, menanyakan kebenaran dan keseriusan kedua calon pengantin
membangun rumah tangga baru. Jika ada pengakuan terbuka di hadapan kedua pihak orangtua,
pertemuan akan dilanjutkan ke tingkat keluarga besar dan akhirnya memasuki tahap pembicaraan adat sesungguhnya, koda pake. Pada koda pake itulah disepakati jumlah gading yang dijadikan mas kawin, besar dan panjang gading, serta kapan gading mulai diserahkan.

Penyerahan gading berlangsung pada tahap pai napa. Pada acara ini pihak pria menyerahkan
mas kawin berupa gading gajah disertai beberapa babi, kambing, ayam jantan, dan minuman arak. Di sisi lain, pihak wanita menyiapkan anting, gelang dari gading, cincin, rantai mas, serta kain sarung yang berkualitas. Selain itu, perlengkapan dapur, mulai dari alat memasak sampai piring dan sendok makan.

Meski tidak dipatok dalam proses pai napa, pemberian dari pihak wanita kepada keluarga pria
merupakan suatu kewajiban adat. Perlengkapan dari pihak wanita harus benar-benar disiapkan dan nilainya harus bisa bersaing dengan nilai gading.

Keluarga wanita akan merasa malu dengan sendirinya jika tidak mempersiapkan perlengkapan
tersebut, atau nilai dari barang-barang itu tidak seimbang dengan nilai gading, babi, kambing, dan ayam yang disiapkan keluarga pria. Keseimbangan pemberian ini supaya kedua pihak dapat
merayakan pesta adat di masing-masing kelompok.

Wanita akan menjadi sasaran kemarahan dan emosi keluarga pria jika pihak keluarga wanita
tidak menyiapkan "imbalan" sama sekali. Di sinilah biasanya awal kekerasan terhadap perempuan dapat terjadi, bahkan tidak jarang berakhir dengan perceraian.

Belakangan ini dikenal satu istilah gere rero lodo rema, atau gere rema lodo rero. Artinya,
gading gajah hanya dibawa siang atau malam hari ke rumah pihak keluarga wanita, dan pada malam atau siang hari dibawa pulang ke pemiliknya. Kehadiran gading itu hanya sebagai simbol, memenuhi tuntutan adat. Pihak wanita tidak harus memiliki gading tersebut.

Peristiwa seperti ini sering terjadi kalau sang pria yang menikah dengan gadis Lamaholot
adalah orang dari luar lingkungan budaya Lamaholot, seperti Jawa, Sulawesi, Sumatera, dan Bali. Gading dalam bahasa Lamaholot disebut "bala". Saat ini jumlah gading yang beredar di Pulau Adonara, semakin sedikit. Gading makin langka karena banyak pengumpul gading dari luar Flores membeli dari Adonara. Harga satu batang gading di pasaran Rp 5 juta-Rp 50 juta, tergantung dari besar (panjang)-nya..
Di Lewopao, Adonara Timur, terdapat satu batang gading dengan lima cabang.
Gading itu dinilai keramat. Setiap tahun harus dibuatkan upacara adat, yakni memandikan dan
memberi makan minum kepada gading tersebut.

Gading seperti itu merupakan simbol kehadiran nenek moyang, sumber kehidupan, kekayaan,
dan kesempurnaan hidup, karena itu harus dihormati. Pada malam hari, gading tersebut bahkan
dipercaya bisa bercahaya, berbicara, dan bertunas.

Mengapa gading menjadi mas kawin utama di Adonara, versinya beragam.
Ernst Vatter dalam buku Ata Kiwang (1563) mengemukakan, sebelum menggunakan gading,
perkawinan di Pulau Solor dan Alor mirip dengan membeli seorang gadis. Pengantin pria harus
membeli pengantin wanita dengan sejumlah uang Belanda dan budak.

Mas Kawin Gading "yang Tak Pernah Retak

Sejumlah tokoh adat dan agama di Adonara, Nusa Tenggara Timur, memperkirakan budaya
pemberian mas kawin gading gajah suatu saat akan lenyap.
Generasi muda akan meninggalkan adat perkawinan seperti itu karena tidak semua orang memiliki gading dan tidak mudah mendapatkan gading gajah. Jumlah gading yang dipersyaratkan untuk meminang seorang gadis pun tidak sedikit, bisa sampai 10 batang. Oleh karena itu, tokoh masyarakat terutama di Adonara, mempertimbangkan kembali budaya pemberian mas kawin gading gajah tersebut.

Harus dipertahankan atau dihapus? Jika dipertahankan, katanya, maka harus ditetapkan
dalam suatu musyawarah besar masyarakat Lamaholot dengan tujuan menegakkan kembali nama besar mas kawin gading. Namun, jika sebagian besar masyarakat adat Lamaholot tidak menghendaki lagi kewajiban melamar dengan membawa mas kawin gading, maka budaya itu tentunya dihapus. Pendapat itu tentunya tidak muncul begitu saja. Dalam 10 tahun terakhir ini praktik pemberian mas kawin gading makin pudar. Sebagian masyarakat mempraktikkannya, tetapi sebagian lainnya tidak.

"Kadang-kadang dalam kesepakatan adat antara keluarga pria dan wanita, pihak pria diwajibkan menyerahkan 10 batang gading kepada keluarga wanita sebelum menikah resmi secara agama. Tetapi, karena keluarga pria tidak sanggup mengadakan gading sebanyak itu, pernikahan pun ditunda atau dilaksanakan tanpa penyerahan sebatang gading pun," .

Penentuan berapa batang gading yang diperlukan untuk meminang seorang anak gadis
memang tidak jelas. Versi suku Corebima di Kiwangona Adonara Timur, untuk melamar anak wanita pertama (tertua), calon pengantin pria harus menyiapkan mas kawin 10 batang gading gajah.

Bagi anak wanita kedua, jumlah gading yang harus disiapkan tujuh batang, sedangkan bagi
anak wanita ketiga dan anak wanita keempat masing-masing lima dan tiga batang. Namun,
kebanyakan masyarakat selalu hormat pada kesepakatan kedua pihak saat upacara koda pake, yakni pertemuan keluarga pria dan wanita dalam kaitan penentuan jumlah gading gajah yang harus disiapkan sebagai mas kawin.

Pembahasan mengenai gading yang harus dipersiapkan sebagai mas kawin masih merupakan
acara adat yang penting di Adonara khususnya dan Flores Timur serta Lembata pada umumnya.

Sebuah pertemuan adat perkawinan tidak akan seru tanpa membahas masalah gading. Dalam
proses tawar-menawar gading itu, pihak keluarga wanita biasanya cenderung emosional dan
berkuasa penuh atas seluruh pembicaraan. Pihak keluarga pria harus hati-hati mengeluarkan
pernyataan. Jika ada kalimat yang salah diucapkan, bisa-bisa mereka kena denda—berupa gading atau binatang sesuai dengan tuntutan pihak keluarga wanita, di luar mas kawin.
Tidak direalisasikan Belakangan ini gading hanya dibicarakan selama proses adat, tetapi tidak direalisasikan.

Padahal, pembicaraan tentang itu dilakukan untuk menempatkan perkawinan sebagai sesuatu yang sakral, mulia, dan terhormat. Jika gading hanya dibicarakan tanpa realisasi, calon istri bisa dianggap remeh oleh sang pria. Pria akan menilai perkawinan merupakan sesuatu yang biasa dan ia pun bisa berselingkuh.

Ada berpendapat mas kawin gading tidak boleh dihapus. Apalagi, di Lamaholot, mas kawin
gading masih memiliki posisi sentral. Belum ada warga suku Lamaholot, khususnya Adonara, yang meminta uang ketika anak gadisnya dilamar pria Adonara. Meski hanya disimpan di rumah, gading memiliki nilai sosial yang tinggi. Rumah yang dihiasi gading dinilai rumah bergengsi, berkhasiat, dan rumah berezeki.

"Uang miliaran rupiah di bank tidak mampu mengimbangi status sosial keluarga itu, hanya
karena sebatang gading yang tersimpan di rumah. Gading memiliki nilai mistis, magis, dan karena itu sangat berpengaruh terhadap hasil keturunan dari pasangan suami istri. Karena itu, sebuah perkawinan harus dilengkapi dengan pemberian gading sebagai mas kawin," .

Di beberapa tempat di Pulau Adonara, sebatang gading sering diperlakukan istimewa, luar
biasa, karena dinilai memiliki kekuatan tertentu. Misalnya, dipercaya bisa berjalan pada saat bulan purnama, menggandakan kekayaan keluarga, dan mampu menyembuhkan orang sakit parah. Gading gajah dimandikan lalu air cucian itu diminumkan kepada orang yang sakit.
Saat ini memang tidak semua perempuan Adonara setuju dengan mas kawin gading.
Sebagian dari mereka lebih suka kalau mas kawin diwujudkan dalam bentuk uang mengingat gading semakin sulit didapatkan, di samping harganya mahal dan dinilai sangat membebani masa depan keluarga.

Contohnya Ny Adelheid Benga (35) dari Desa Mewet, Adonara Barat, Flores Timur, misalnya,
menyebutkan, dari 10 batang gading yang diputuskan dalam proses adat koda pake pada tahun 1995, yang terpenuhi baru satu batang. Itu pun diserahkan pada tahun 2003 dan didapatkan dengan susah payah.

"Suami saya beli gading itu dari Waiwerang dengan harga Rp 11 juta, tetapi uang tersebut kami
pinjam dari tetangga. Saat itu pihak pemilik gading minta uang Rp 11 juta diserahkan secara tunai, baru gading boleh keluar dari rumah. Kami belum punya uang sebesar itu, akhirnya pinjam dari tetangga Rp 5 juta untuk menggenapi simpanan yang ada," tuturnya.

Benga melangsungkan "kawin lari" dengan Rensus pada tahun 1995. Ketika itu keduanya masih
duduk di SMA Waiwerang, Adonara Timur. Meskipun mereka kemudian hidup bersama sebagai suami istri, keluarga Rensus belum memberi mas kawin.

Setelah delapan tahun anak pertama mereka lahir, keluarga Rensus menyerahkan mas kawin
berupa satu batang gading, bala belee, yang nilainya Rp 11 juta.
Jika selama pernikahan Rensus dan Benga tidak meraih kesepuluh gading tersebut, berarti
pemenuhan sembilan gading lainnya akan dibebankan kepada anak laki-laki pertama mereka. Jika anak laki-laki pertama meninggal dunia, tanggung jawab itu dialihkan kepada anak laki-laki kedua.

Karena itu, tanggung jawab anak laki-laki mereka itu semakin berat sebab suatu saat anak itu
juga akan menikah dan harus memberi mas kawin kepada pasangannya. "Kondisi ini tentu amat
membebani keluarga besar Rensus. Bagaimanapun, mereka harus bertanggung jawab atas
kesepakatan adat mas kawin tersebut," papar Nasu Kopong.

Untuk meringankan utang mas kawin, sering dalam masyarakat Lamaholot satu atau dua anak
perempuan hasil perkawinan Benga dan Rensus diserahkan kepada keluarga besar Benga. Anak
perempuan itu akan menjadi hak penuh orangtua Benga.
Sampai tahun 1960-an satu batang gading dihargai dengan satu anak perempuan. Jika
Rensus memiliki 2-3 saudara perempuan, misalnya, saudaranya itu dapat diserahkan kepada
keluarga Benga. Di sana mereka dijadikan sebagai "pekerja".

Utang mas kawin itu tidak hapus meski sang istri meninggal terlebih dahulu dari suaminya. Tidak ada anggota keluarga yang bebas dari mas kawin. Tak heran jika utang mas kawin dari nenek dan kakek masih ditanggung para anak, cucu, atau cicit. Tak heran bila makin hari makin banyak pria asal Lamaholot yang menikah dengan perempuan dari
luar daerah tersebut. Misalnya, menikah dengan perempuan asal Jawa atau lainnya. Itulah budaya yang hingga kini masih terus dibahas eksistensinya.

Adonara, 'suka berperang', gemar merantau

DALAM catatan perjalanan Prof. Dr. Ernst Vatter sekitar tahun 1929-1930 yang disuguhkan dalam bukunya "Ata Kiwan", antropolog ini menyebut Adonara sebagai "pulau pembunuh". "Adonara yang kecil ini membuat sakit kepala pemerintah, karena di sana sering terjadi pembunuhan balas dendam, ... dendam keluarga atau dendam kampung masih merupakan kejadian sehari-hari di antara penduduk yang keras dan suka berperang ini". Demikian kesaksian Ernst Vatter mengenai watak kaum pria dari Nusa Tadon Adonara.

Judul buku Ata Kiwan (judul aslinya: Unbekannte Bergvolker im Tropichen Holland) sangat kuat menampilkan kesan penulis akan peradaban masyarakat yang sedemikian kolot, tidak hanya di pulau Adonara, tetapi juga di Flores Timur, Solor dan Alor, daerah yang "hampir tidak dikenal orang" saat itu.

Ata Kiwan lebih kurang artinya orang udik, dari pedalaman, dari gunung atau bukit yang jauh dari kota dan belum tersentuh peradaban modern.

Apa khabar Adonara saat ini? Pulau itu kini sudah menjadi gudang komoditi perkebunan dan
pertanian yang menyumbang tidak sedikit pendapatan asli daerah (PAD) Kabupaten Flores Timur. Apalagi setelah Lembata pisah dari Kabupaten Flotim, Adonara menjadi sandaran utama Kabupaten Flotim dalam mendulang PAD selain Solor dan sebagian ujung timur Pulau Flores. Tanaman perkebunan semisal kelapa, kemiri, kopi, cengkeh, vanili, pisang dan tanaman pertanian seperti padi, jagung, kacang ijo dan jarak merupakan tanaman yang diakrabi penduduk saat ini. Pulau kecil di ujung timur Pulau Flores itu juga dikelilingi selat yang kaya akan ikan. Potensi ini juga menjadi mutiara bagi masa depan Kabupaten Flotim.

Namun kendala utama yang dihadapi penduduk Adonara ialah sarana jalan raya. Banyak wilayah (desa/kampung) kantong produksi masih belum dilalui sarana jalan raya yang baik. Pulau itu hanya dilingkari satu ruas jalan propinsi dari Waiwerang-Sagu-Kolilanang-Waiwadan-Lite-Knotan dan kembali ke Waiwerang. Sedangkan ruas menuju kantong-kantong produksi semisal di Adonara bagian barat, masih sangat minim. Padahal, wilayah barat ini paling subur dan terkenal sebagai "gudang" kopi, kemiri, kopra, cengkeh, vanili dan pisang.

Meski dijuluki Ernst Vatter sebagai pulau pembunuh, namun penduduk pulau itu terbilang ramah terhadap pendatang yang bermaksud baik. Para pedagang dari hampir seluruh pelosok nusantara sudah singgah di beberapa pelabuhan di pulau itu semisal Sagu (pantainya kini menjadi perkampungan orang Buton), Waiwerang, Terong dan Waiwadan. Tiga dermaga laut terakhir ini sampai sekarang disinggahi kapal-kapal niaga dari Surabaya dan Makasar. Kontak dagang antar penduduk asli dengan pendatang tidak jarang berlanjut dengan kawin-mawin sehingga pulau yang juga acap disebut-sebut sebagai "tempat adu darah" itu terbuka bagi pendatang baru sejak dahulu kala.

Sakarang, Adonara pantas mendapat julukan baru sebagai pulau yang dihuni masyarakat yang gemar merantau. Tua muda, laki perempuan ramai-ramai mengadu nasib di tanah perantauan. Bahkan merantau boleh dibilang sudah menjadi trend kebanyakan penduduk Adonara untuk memperbaiki taraf hidup. Sudah biasa kaum isteri ditinggal pergi suaminya marantau. Isteri-isteri ini sering dijuluki jamal (janda Malaysia) karena suaminya merantau ke Malaysia. Negeri yang dituju umumnya adalah Malaysia, Singapura dan Brunai Darusalam. Kini, dengan berbagai kesulitan masuk ke Negeri Jiran Malaysia, orang Adonara sudah beralih ke Batam.

Dari perantauan, mereka mengirim biaya untuk anak-anak sekolah, membangun rumah dan
sebagiannya ditabung. Tidak sedikit generasi muda pulau itu sukses meraih gelar kesarjanaan dari uang yang dikirim keluarganya di perantauan. Ada pula warga yang merantau selama belasan tahun untuk mengumpulkan modal dan kembali merintis usaha. Ada yang membeli satu dua unit kendaraan yang dijadikan sebagai angkutan umum (penumpang dan barang). Truk-truk yang dibeli dengan uang yang diperoleh dari merantau itu dimodifikasi menjadi angkutan penumpang, diberi tempat duduk dan atap. Kini, tidak sedikit warga yang baru kembali dari merantau, mulai membeli mikrolet di Kota Kupang untuk dijadikan angkutan penumpang di pulau itu.

Adonara kini sudah berubah. Dulu sebagai `pulau pembunuh', pulau itu identik dengan perang dan
darah. Kaum pria ke mana-mana selalu membawa parang, tombak, anak panah dan busur. Kini
senjata-senjata itu sudah ditinggalkan, selain hanya sebagai simbol keberanian dan kepahlawanan.
Senjata generasi Adonara saat ini bukan lagi dopi noon gala (perisai dan rombak) tetapi tulis-basa
(menulis dan membaca). (dami ola)



PanCRUE [3:48 PM]__

welkam prend

jelleQdesigN

 

jelleQdesigN

Name

URL or Email

Messages(smilies)




archivez


date: March 2007
date: January 2008




Visitor



 

member

Login

UserID :  

Pswrd : 

 

Password Reminder

member Registration

Untuk mendapatkan email gratis di sini anda harus

Klik di Sini

linkz

 

Search>>>

Google

mARZ PANUSA


Dari jauh Nusa Tadon bersatu dalam paguyuban
Satu tekad, satu niat tuk bersatu
Satu hati, satu rasa tuk berpadu

Dari lewo Adonara berkumpul dalam musyawarah
Kita satu dalam satu suara
Kita hidup, kita selalu gembira

Reff.
Mari bersukaria
Mari menggalang persatuan
Mari menjunjung persaudaraan
Nusa Tadon Adonara

PanCRUE


Milis

Click NOW !
Click to join panusamail


IklanGratis

BravoAdonara
adonara malang online


BravoAdonara
adonara malang online


BravoAdonara
adonara malang online


Bagi teman 2X yang ingin mengiklankan barang atau jasanya silahkan kirim lewat email ke ADONARA@PANUSA.ZZN.COM iklan yang dianggap layak akan kami tayangkan di sini. -*PanCRUE

March 22, 2007, 2:47 am : Malang

Email: ADONARA@PANUSA.ZZN.COM
Segala kritik saran bukan caci maki silahkan kirim ke alamat di atas.

Paguyuban Nusa Tadon Adonara Malang Paguyuban Nusa Tadon Adonara Malang Paguyuban Nusa Tadon Adonara Malang Paguuban Nusa Tadon Adonara Malang