Browser Kamu, dengan resolusi berjalan baik di Website ini

ADONARAIS SEJATI

Tuesday, January 8, 2008


Kau telah berkata “ kebesaran Adonaraku tidak ternilai harganya, segala sesuatu
baik adanya sehingga mendukung kebesarannya. Dalam dunia tempat segala
sesuatu kehilangan maknanya, seperti kami anak Adonara beruntung menemukan
makna dalam takdir Adonara kami, harus mengorbankan segala sesuatunya.”
Aku berkeinginan mampu mencintai Adonara sekaligus mencintai keadilan
dan kedamaian. Aku hanya menginginkan kebesaran bagi Adonara, kebesaran yang
lahir dari darah dan tradisi. Aku ingin menghidupkan Adonaraku dengan
menghidupkan kecintaan dan kedamaian.

Apakah aku jawab dengan pedas
“ Ah, Aku tidak Mencintai Adonaraku”


Aku ingin mengatakan kebesaran apa yang membuat aku tetap hidup, keberanian
macam apa yang aku hargai. Karena sungguh sedikit yang melakukan kekerasan
ketika aku telah menyiapkan kekerasan dan ketika kekerasan lebih alami bagiku
ketimbang berpikir.

Suatu fakta bahwa kebencian dan kekerasan adalah hal kosong pada diriku sendiri.
Aku terpaksa mengatasi kelemahanku untuk semuannya, yakni citra yang telah
terbentuk tentang cinta dan damai, dimana keyakinan telah berakar kuat dalam diri
ku sehingga tidak ada kemenangan yang berguna. Adonaraku patut mendapatkan
cinta yang sulit dan persyaratannya yang merupakan milikku. Dan aku percaya
Adonaraku ini patut diperjuangkan kerena ia patut mendapatkan cinta yang lebih
tinggi. Dan sebaliknya, apakah kukatakan bahwa Adonaraku telah menerima cinta
yang memang layak diterima dari putra-putranya yang merupakan cinta buta?.

Kata – kata selalu mengambil warna perbuatan dan pengorbanan apakah
harus mendapat tambahan yang buta dan berdarah dan akan selamanya
bertentangan, padahal didalam kata itu aku akan menaruh pijar itelegensi yang
menjadikan keberanian lebih sulit dan memberiku sesuatu yang utuh. Akhirnya, aku
memahami bahwa nadaku benar-benar tidak berubah.

Nada yang digunakan Adonara ku yang lama adalah nada yang sama kugunakan hari ini hanya cuma waktu dan kondisi yang berbeda. (Demi mereka yang masih bertanya kepada saya
tentang masa depan seperti apa yang diharapkan untuk Adonara, saya akan
berusaha dalam ruang sesingkat mungkin dan tetap berjarak sedekat mungkin
dengan realitas Adonara )


PRO ADONARAISME
YanzenRianTobi

PanCRUE [4:11 PM]__

PEREMPUAN ADONARA HARUS IKUT BERJUANG


Perjuangan untuk mencapai impian atau cita-cita, masih di
perhadapkan dengan berbagai kondisi dan konstruksi budaya yang
memperlihatkan sisi-sisi kontroversialnya terutama terhadap berbagai
persoalan yang mengedepankan penemuan model pembangunan yang ideal bagi
suatu komunitas baru. Menjadi pertanyaan Reflektif kita bersama â€oe
sanggupkah Adonara jadi kabupaten jika kita beranjak dari persoalan
konstruksi budaya ini â€oe.yang pasti ini bukan merupakan gambaran
kepesimisan atau kegelisaan dalam perjuangan menjemput Adonara jadi
kabupaten,tetapi lebih pada adanya kesadaran untuk menemukan titik-titik
penting apakah Adonara siap jadi kabupaten. Adonara yang di perhadapkan
dengan kondisi ril masyarakatnya di mana rekonstruksi budayanya yang luar
biasa berpengaruh, telah menempatkan sebagian komponen masyarakatnya di
sisi-sisi yang cukup memprihatinkan. Ini merupakan bagian dari sebagian
persoalan akan siap dan tidaknya adonara menjadi sebuah kabupaten.
Sekelompok masyarakat yang saat ini cukup berpengaruh dalam
persoalan rekonstruksi budaya tersebut adalah perempuan dalam kapasitasnya
sebagai anggota masyarakat yang sebenarnya memiliki kedudukan yang sama
dengan kelompok manusia yang lain yakni kaum laki-laki.Bagi orang Adonara
Perempuan dapat di golongkan dalam kelompok kelas dua.Apakah masalah
perempuan ini juga sempat di pikirkan oleh setiap mereka yang selalu
optimis bahwa Adonara Siap jadi kabupaten atau juga sadarkah
perempuan-perempuan adonara akan integritasnya sebagi bagian dari komponen
masyarakat yang siap berjuang ?,sepertinya hal ini terasa jauh sekali
karena yang selama ini di koar-koarkan dalam tulisan ataupun setiap seruan
hanyalah sebuah gambaran secara gamblang bahwa adonara siap jadi
kabupaten. Dan di manakah Perempuan –Perempuan Adonara ? siapkah Perempuan
–Perempuan Adonara untuk ikut berjuang mencapai adonara Jadi Kabupaten ?
Apakah Adonara hanya milik kaum laki-laki ?
Perjuangan, Lahir dari Kesadaran.

Berbicara tentang perjuangan bagi segenap kaum hawa Adonara mungkin saja
bukanlah hal yang sangat luar biasa, juga bukan merupakan sebuah
tanggungjawab, atau juga bukan merupakan hak,tapi perjuangan itu lebih
cendrung bukan menjadi milik seorang perempuan tetapi lebih pada
representasi dari julukan untuk kaum adam adalam mempertahankan hidup dan
keturunanya untuk mengisi bumi Adonara. Ini jelas-jelas menunjukan adanya
perbedaan yang luar biasa jauh antara seorang perempuan dan seorang
laki-laki di adonara ? Ketika isu Gender di kampanyekan di mana-mana,
orang lalu mulai berpikir mungkin ini saatnya semua perempuan harus lebih
berkomitmen untuk mengupayakan adanya kesetaraan yang tentunya akan
berdampak pada perubahan tatanan kehidupan yang lebih mengedepankan rasa
hormat dan penghargaan terhadap setiap komponen masyarakat terutama
perempuan yang dalam konstruksi budaya masih di kelas dua. Dan sayangnya
banyak perempuan-perempuan yang belum menyadari hal ini, dan kondisi
inilah yang terjadi di Adonara. Ketika di perhadapkan dengan persolan
kesetaraan gender, maka beralihlah persoalan sebagai bagian dari benturan
budaya yang kemudian menimbulkan asumsi perjuangan untuk mencapai
kesetaraan gender lebih cendrung menempatkan perempuan di atas
segalah-galahnya dan pada akhirnya kemudian hanya di anggap sebagai bagian
dari kesombongan orang-orang yang masih mencari popularitas.
Kondisi ini jelas sangat memprihatinkan, dan bahkan kalau di biarkan akan
semakin membias menuju ke sebuah kondisi antara siap dan tidak semua
komponen masyarakat untuk bertarung mencapai adonara jadi kabupaten . Dan
kata perjuangan di harapkan bukan menjadi sebuah seruan perlawanan tetapi
lebih pada sebuah bangunan kesadaran akan pentinya upaya pengembangan diri
menuju manusia yang berintelek dan berkepribadian menuju suatu tatanan
masyarakat yang sejaterah. Perjuangan harus klahir dari kesadaran utuh
sebagai manusia yang memiliki hak untuk hidup yang sama, kesadaran akan
keberadaan sebagai aktor dari kehidupan bermasyarakat,dan kesadaran akan
nilai yang mengharuska semua komponen masyarakat itu satu dan sama dalam
pendistribusian peran dalam kehidupan bermasyarakat. Jika keasadaran ini
benar-benar ada, maka jangan perna malu untuk mengakui keoptimisan kita
bahwa Adonara siap jadi kabupaten ? Karena hal ini merupakan bangunan yang
paling mendasar dari pelaku pendeklarasi Adonara Siap jadi kabupaten.

Dimanakah Perempuan-Perempuan Adonara ?

Pertanyaan sederhanan ini bagi kelompok masyarakat biasa mungkin
jawabanya juga biasa-biasa saja. Tetapi ketika pertanyaan ini bagi
kelompok masyarakat intelektual yang kini lagi mengencam pendidikan, yang
sedang menggeluti dunia kerja atau yang sedikit memahami maknan dari
sebuah perjuangan dan cita-cita , mungkin bukan jawaban singkat tetapi
lebih pada sebuah permenungan panjang akan keberadaanya sebagai generasi
penerus bangsa,terlepas dari kapasitasnya sebagai laki-laki ataupun
perempuan.

Perempuan Adonara dalam pemahaman singkat kita adalah sekelompok orang
yang berkumpul dalam suatu komunitas yang di namakan masyarakat Adonara
dengan pola hidupnya bersandar pada konstruksi budaya yang begitu kental
dengan kebiasaan yang sangat sulit untuk di tinggalkan.
Perempuan-perempuan Adonara yang lahir dari kukungan budaya ini , kemudian
tumbuh dan berkembang memenuhi seluruh jagat Adonara dengan jumlah yang
lebih besar di bandingkan dengan jumlah laki-laki. Perempuan Adonara juga
lahir dengan berbagai karetristik yang unik tetapi kemudian berbenturan
dengan persoalan adat istiadat yang kemudian mengkukung mereka dalam suatu
garis keterbatasan dan kehilangan keberanian untuk lebih banyak berbicara
ketimbang laki-laki. Dan juga Perempuan Adonara yang lahir dan
kenberadaanya di bedakan dari laki-laki karena kerap kali ada bahasa
klasik yang muncul â€oe Perempuan Adonara itu jumlahnya seribu baru bisa
sebanding dengan satu orang laki-laki Adonaraâ€oe.
Maka sadarkah kaum perempuan-perempuan Adonaraku sekalian akan semua makna
ini ? Apakah nilai kita sebagai manusia harus hilang di telan waktu begitu
saja. Atau apakah juga keberadaan kita hanyalah sebagai simbol untuk
memenuhi muka bumi, Ini tak perlu di jawab tapi cukup untuk menjadi sebuah
permenungan panjang akan arti dari sebuah seruan untuk menggugah kesadaran
kita bersama akan pentingnya persatuan dan kesatuan tanpa ada perbedaan
laki-laki dan perempuan untuk menjemput cita-cita Adonara siap jadi
kabupaten. Adat Istiadat akan selalu kita junjung tinggi,tapi di lain sisi
perjuangan untuk mempertahankan kehidupan yang lebih sempurna juga
merupakan tujuan akhir dari kehidupan di muka bumi, karena sesungguhnya
tuhan menciptakan kita juga tanpa memangdang antara laki-laki dan
perempuan harus ada yang di istimewakan.

Sebenarnya Konstruksi budaya yang kental di Adonara bukanlah menkjadi
penghalang buat kita kaum perempuan sekalian untuk meninggalkan hakekat
keberadaan kita sebagai generasi penerus panji perjuangan bangsa.tetapi
lebih pada itu ,Kukungan adat ini harus menjadi cambuk perjuangan kita
untuk membuktikan kepada dunia bahwa ada sebagian pengghargaan yang luar
biasa besarnya yang di berikan oleh leluhur kita melalui adat dan
kebiasaan kita ,tetap akan kita junjung tinggi tanpa melupakan semangat
dan sebuah nilai perjuangan melalui pendidikan dan pengembangna diri
selanjutnya implementasinya di masyarakat.

Sehingga untuk menjawab di manakah perempuan –perempuan Adonara ,cukuplah
kita dengan mengakui bahwa kita siap berjuang dengan cara kita dan tidak
akan meninggalkan nilai-nilai budaya yang telah di tinggallkan oleh
leluhur kita. Kondisi ini menunjukan bagaimana kita sebagai perempuan siap
untk menjadi bingkai yang akan mewarnai Adonara siap jadi kabupaten .
Mampuhkah kita membuktikanya, Maka jadilah kaum perempuan yang berilmu ,
yang bermoral. Perempuan Adonara tidak boleh hilang,tapi perempuan Adonara
harus tetap ada dan akan tetap ada dan siap menjadi pejuang menuju Adonara
jadi kabupaten.

Ketika seorang perempuan tumbuh dengan kerakternya yang mengantar dia
menuju ke sisi-sisi kepemimpinan ,maka lahirlah berbagai pemikiran,antara
menyudutkan bahkan kecemburuan dan membuat dia di tempatkan di kelompok
orang- orang sombong. Hal ini yang sering muncul di kalangan kelompok
perempuan – perempuan, termasuk kelompok-kelompok perempuan Adonara. Ini
merupakan sebuah tantangan terberat ketika kita mencoba untuk berbicara
soal komitmen dan perjuangan. Mungkinkah kecemburuan akan melahirkan
keberhasilan? Mungkinkah kedengkian akan melahikan persatuan? Hal-hal ini
sangat rentan terjadi di kalangan perempuan-perempuan Adonara. Demikianlah
menjadi sebuah seruan moril â€oe bahwa ketika kita hendak berjuang maka
memupuk rasa persatuan merupakan hal yang paling mendasar. Kesamaan
presepsi, merupakan tuntutan utama ketika kita mencoba membangun gerakan
bersama menuju Adonara jadi kabupaten. Gerakan ini harus di bangun di atas
kessadaran kita sebagai sesama komponen masyarakat adonara,juga di atas
keyakinan kita akan masa depan generasi kita yang lahir dari rahim kita
yang akan memenuhi tanah Adonara. Harus juga di renungkan bersama bahwa
gerakan kita bukan merupakan sebuah gerakan perlawanan yang radikal tetapi
lebih dari sebuah kesadaran utuh sebagai ibu dari sekian generasi yang
akan hadir di kemudian hari nanti,juga bukanlah merupakan sebuah gerakan
sakit hati karena kukungan budaya tapi sesungguhnya lebih pada sebuah
jawaban atas realitas yang menuntut kita untuk lebih banyak melihat
tantangan zaman tanpa harus melupakan dimana kita di lahirkan dan di
besarkan. Suara Bung Karno yang menyatakan Perempuan adalah pencipta
peradaban hendaknya tetap di pegang teguh dalam setiap langkah perjuangan
kita. Rasa persatuan harus tetap di pupuk dalam suatu komitmen akan
tercapainya cita-cita Adonara siap jadi kabupaten.

Penutup

Untuk menggali makna di balik kilasan sederhana antara perempuan dan
adonara adalah bagian dari proses yang harus di mulai sebelum berbicara
banyak tentang Adonara jadi kabupaten. Membangun komitmen merupakan
langkah awal untuk menjemput cita-cita,karena kita pada umumnya masi
tergenang di muara yang mengisahkan sejuta keegohan kita sebagai
masyarakat Adonara. Juga rasa persatuan yang masih di lilit sejuta
persoalan karena status sosial dan lain sebaginya. Tentang perempuan
adalah satu dari sekian persoalan yang harus selalu di bedah ketika kita
bicara siap dan tidaknya kita menjadi satu kabupaten . Muda-mudahan
gambaran sederhana ini bisa mengantar kita lebih jauh ke alam pemikiran
akan sebagian masalah yang dapat meyakinkan kita untuk membangun komitmen
Adonara siap jadi kabupaten.

Penulis Wartawan SKM Expo Lamaholot

PanCRUE [4:07 PM]__

PRAKTIK KEHIDUPAN DI PULAU ADONARA


PENDAHULUAN

Pemberian mas kawin berupa gading gajah di Pulau Adonara
sekarang ini masih dipraktikkan secara ketat. Tidak ada perkawinan tanpa gading. Batang gading itu tidak hanya memiliki nilai adat, tetapi
juga kekerabatan, harga diri perempuan, dan nilai ekonomis yang tinggi.
Meski perkembangan ilmu dan teknologi informasi terus merembes
sampai ke pelosok-pelosok desa di Pulau Adonara,
mas kawin berupa gading gajah tidak pernah hilang dari kehidupan mereka.
Kehidupan orang Adonara secara keseluruhan berada dalam suasana
adat yang kuat, yang mengikat.
Adat istiadat dalam kehidupan masyarakat Adonara (Solor) khususnya dan Flores Timur
(Lembata) pada umumnya disebut budaya Lamaholot.
Budaya Lamaholot demikian melekat dalam kehidupan masyarakat setempat. Setiap warga Lamaholot juga harus mampu menguasai bahasa
daerah Lamaholot dan mengikuti tata krama daerah itu.
"Gading gajah tidak hanya mengikat hubungan perkawinan antara suami-istri,
atau antara keluarga perempuan dan keluarga laki-laki,
tetapi seluruh kumpulan masyarakat di suatu wilayah.
Perkawinan itu memiliki nilai sakral yang meluas, suci, dan bermartabat yang lebih sosialis,"
Gading gajah merupakan simbol penghargaan tertinggi terhadap pribadi seorang gadis yang
hendak dinikahi.
Penghargaan atas kepercayaan, kejujuran, ketulusan, dan keramahan yang dimiliki
sang gadis. Kesediaan menyerahkan mas kawin gading gajah kepada keluarga wanita pertanda
membangun suasana harmonis bagi kehidupan sosial budaya setempat.
Meski di Adonara tidakmemiliki gajah, kaum pria tidak pernah gentar memenuhi pemberian mas kawin gading gajah.
Sampai tahun 1970-an, gadis Adonara tidak boleh keluar rumah tanpa perlindungan,
pengawalan, dan pengawasan pihak keluarga. Mereka bahkan tidak bisa keluar rumah pada malam hari. Tidak ada perkawinan tanpa gading. Pernikahan gadis asal Adonara selalu ditandai dengan pembicaraan mas kawin gading gajah.

Lima jenis

Di masyarakat Adonara dikenal lebih kurang lima jenis gading. Namun, jika sang pria menikahi
perempuan yang masih berhubungan darah dengannya, maka dia akan kena denda, yakni memberi tambahan dua jenis gading sehingga totalnya menjadi tujuh jenis gading. Kelima jenis gading itu adalah :

 Bala belee (gading besar dan panjang) dengan panjang satu depa orang dewasa.
 Bala kelikene (setengah depa sampai pergelangan tangan)
 Kewayane (setengah depa sampai siku)
 Ina umene (setengah depan sampai batas bahu)
 Opu lake (setengah depa, persis belah dada tengah).

Dua jenis gading tambahan yang biasa dijadikan sebagai denda ukurannya ditentukan sesuai dengan kesepakatan.
Satuan yang dipakai untuk menentukan besar atau kecil sebatang gading adalah depa, satu
depa orang dewasa (rentangan tangan dari ujung jari tengah tangan kiri ke ujung jari tengah tangan kanan).

Juru bicara keluarga biasanya memiliki keterampilan memahami bahasa adat, tata cara
pemberian, ungkapan-ungkapan adat, dan bagaimana membuka dan mengakhiri setiap pembicaraan.

Tiap-tiap juru bicara harus mengingatkan keluarga wanita atau pria agar tidak melupakan segala hasil kesepakatan bersama.
Juru bicara pria bersama orangtua calon pengantin pria selanjutnya mendatangi keluarga
wanita.

Kedatangan pertama itu untuk menyampaikan niat sang pria menikahi gadis pujaannya.
Biasanya pasangan yang saling jatuh hati ini masih memiliki hubungan kekerabatan, yang sering
disebut anak om atau tanta.

Kedekatan hubungan ini memang direstui dan dikehendaki adat, tetapi sering bertentangan
dengan hukum agama. Kalau ada kasus-kasus seperti itu, hal tersebut juga dibahas pada saat koda pake, pembahasan resmi mengenai adat perkawinan antara keluarga besar calon pengantin pria dan keluarga besar calon pengantin wanita.

Oleh karena itu, kedua pihak juga perlu menentukan waktu pertemuan bersama calon
pengantin masing-masing, menanyakan kebenaran dan keseriusan kedua calon pengantin
membangun rumah tangga baru. Jika ada pengakuan terbuka di hadapan kedua pihak orangtua,
pertemuan akan dilanjutkan ke tingkat keluarga besar dan akhirnya memasuki tahap pembicaraan adat sesungguhnya, koda pake. Pada koda pake itulah disepakati jumlah gading yang dijadikan mas kawin, besar dan panjang gading, serta kapan gading mulai diserahkan.

Penyerahan gading berlangsung pada tahap pai napa. Pada acara ini pihak pria menyerahkan
mas kawin berupa gading gajah disertai beberapa babi, kambing, ayam jantan, dan minuman arak. Di sisi lain, pihak wanita menyiapkan anting, gelang dari gading, cincin, rantai mas, serta kain sarung yang berkualitas. Selain itu, perlengkapan dapur, mulai dari alat memasak sampai piring dan sendok makan.

Meski tidak dipatok dalam proses pai napa, pemberian dari pihak wanita kepada keluarga pria
merupakan suatu kewajiban adat. Perlengkapan dari pihak wanita harus benar-benar disiapkan dan nilainya harus bisa bersaing dengan nilai gading.

Keluarga wanita akan merasa malu dengan sendirinya jika tidak mempersiapkan perlengkapan
tersebut, atau nilai dari barang-barang itu tidak seimbang dengan nilai gading, babi, kambing, dan ayam yang disiapkan keluarga pria. Keseimbangan pemberian ini supaya kedua pihak dapat
merayakan pesta adat di masing-masing kelompok.

Wanita akan menjadi sasaran kemarahan dan emosi keluarga pria jika pihak keluarga wanita
tidak menyiapkan "imbalan" sama sekali. Di sinilah biasanya awal kekerasan terhadap perempuan dapat terjadi, bahkan tidak jarang berakhir dengan perceraian.

Belakangan ini dikenal satu istilah gere rero lodo rema, atau gere rema lodo rero. Artinya,
gading gajah hanya dibawa siang atau malam hari ke rumah pihak keluarga wanita, dan pada malam atau siang hari dibawa pulang ke pemiliknya. Kehadiran gading itu hanya sebagai simbol, memenuhi tuntutan adat. Pihak wanita tidak harus memiliki gading tersebut.

Peristiwa seperti ini sering terjadi kalau sang pria yang menikah dengan gadis Lamaholot
adalah orang dari luar lingkungan budaya Lamaholot, seperti Jawa, Sulawesi, Sumatera, dan Bali. Gading dalam bahasa Lamaholot disebut "bala". Saat ini jumlah gading yang beredar di Pulau Adonara, semakin sedikit. Gading makin langka karena banyak pengumpul gading dari luar Flores membeli dari Adonara. Harga satu batang gading di pasaran Rp 5 juta-Rp 50 juta, tergantung dari besar (panjang)-nya..
Di Lewopao, Adonara Timur, terdapat satu batang gading dengan lima cabang.
Gading itu dinilai keramat. Setiap tahun harus dibuatkan upacara adat, yakni memandikan dan
memberi makan minum kepada gading tersebut.

Gading seperti itu merupakan simbol kehadiran nenek moyang, sumber kehidupan, kekayaan,
dan kesempurnaan hidup, karena itu harus dihormati. Pada malam hari, gading tersebut bahkan
dipercaya bisa bercahaya, berbicara, dan bertunas.

Mengapa gading menjadi mas kawin utama di Adonara, versinya beragam.
Ernst Vatter dalam buku Ata Kiwang (1563) mengemukakan, sebelum menggunakan gading,
perkawinan di Pulau Solor dan Alor mirip dengan membeli seorang gadis. Pengantin pria harus
membeli pengantin wanita dengan sejumlah uang Belanda dan budak.

Mas Kawin Gading "yang Tak Pernah Retak

Sejumlah tokoh adat dan agama di Adonara, Nusa Tenggara Timur, memperkirakan budaya
pemberian mas kawin gading gajah suatu saat akan lenyap.
Generasi muda akan meninggalkan adat perkawinan seperti itu karena tidak semua orang memiliki gading dan tidak mudah mendapatkan gading gajah. Jumlah gading yang dipersyaratkan untuk meminang seorang gadis pun tidak sedikit, bisa sampai 10 batang. Oleh karena itu, tokoh masyarakat terutama di Adonara, mempertimbangkan kembali budaya pemberian mas kawin gading gajah tersebut.

Harus dipertahankan atau dihapus? Jika dipertahankan, katanya, maka harus ditetapkan
dalam suatu musyawarah besar masyarakat Lamaholot dengan tujuan menegakkan kembali nama besar mas kawin gading. Namun, jika sebagian besar masyarakat adat Lamaholot tidak menghendaki lagi kewajiban melamar dengan membawa mas kawin gading, maka budaya itu tentunya dihapus. Pendapat itu tentunya tidak muncul begitu saja. Dalam 10 tahun terakhir ini praktik pemberian mas kawin gading makin pudar. Sebagian masyarakat mempraktikkannya, tetapi sebagian lainnya tidak.

"Kadang-kadang dalam kesepakatan adat antara keluarga pria dan wanita, pihak pria diwajibkan menyerahkan 10 batang gading kepada keluarga wanita sebelum menikah resmi secara agama. Tetapi, karena keluarga pria tidak sanggup mengadakan gading sebanyak itu, pernikahan pun ditunda atau dilaksanakan tanpa penyerahan sebatang gading pun," .

Penentuan berapa batang gading yang diperlukan untuk meminang seorang anak gadis
memang tidak jelas. Versi suku Corebima di Kiwangona Adonara Timur, untuk melamar anak wanita pertama (tertua), calon pengantin pria harus menyiapkan mas kawin 10 batang gading gajah.

Bagi anak wanita kedua, jumlah gading yang harus disiapkan tujuh batang, sedangkan bagi
anak wanita ketiga dan anak wanita keempat masing-masing lima dan tiga batang. Namun,
kebanyakan masyarakat selalu hormat pada kesepakatan kedua pihak saat upacara koda pake, yakni pertemuan keluarga pria dan wanita dalam kaitan penentuan jumlah gading gajah yang harus disiapkan sebagai mas kawin.

Pembahasan mengenai gading yang harus dipersiapkan sebagai mas kawin masih merupakan
acara adat yang penting di Adonara khususnya dan Flores Timur serta Lembata pada umumnya.

Sebuah pertemuan adat perkawinan tidak akan seru tanpa membahas masalah gading. Dalam
proses tawar-menawar gading itu, pihak keluarga wanita biasanya cenderung emosional dan
berkuasa penuh atas seluruh pembicaraan. Pihak keluarga pria harus hati-hati mengeluarkan
pernyataan. Jika ada kalimat yang salah diucapkan, bisa-bisa mereka kena denda—berupa gading atau binatang sesuai dengan tuntutan pihak keluarga wanita, di luar mas kawin.
Tidak direalisasikan Belakangan ini gading hanya dibicarakan selama proses adat, tetapi tidak direalisasikan.

Padahal, pembicaraan tentang itu dilakukan untuk menempatkan perkawinan sebagai sesuatu yang sakral, mulia, dan terhormat. Jika gading hanya dibicarakan tanpa realisasi, calon istri bisa dianggap remeh oleh sang pria. Pria akan menilai perkawinan merupakan sesuatu yang biasa dan ia pun bisa berselingkuh.

Ada berpendapat mas kawin gading tidak boleh dihapus. Apalagi, di Lamaholot, mas kawin
gading masih memiliki posisi sentral. Belum ada warga suku Lamaholot, khususnya Adonara, yang meminta uang ketika anak gadisnya dilamar pria Adonara. Meski hanya disimpan di rumah, gading memiliki nilai sosial yang tinggi. Rumah yang dihiasi gading dinilai rumah bergengsi, berkhasiat, dan rumah berezeki.

"Uang miliaran rupiah di bank tidak mampu mengimbangi status sosial keluarga itu, hanya
karena sebatang gading yang tersimpan di rumah. Gading memiliki nilai mistis, magis, dan karena itu sangat berpengaruh terhadap hasil keturunan dari pasangan suami istri. Karena itu, sebuah perkawinan harus dilengkapi dengan pemberian gading sebagai mas kawin," .

Di beberapa tempat di Pulau Adonara, sebatang gading sering diperlakukan istimewa, luar
biasa, karena dinilai memiliki kekuatan tertentu. Misalnya, dipercaya bisa berjalan pada saat bulan purnama, menggandakan kekayaan keluarga, dan mampu menyembuhkan orang sakit parah. Gading gajah dimandikan lalu air cucian itu diminumkan kepada orang yang sakit.
Saat ini memang tidak semua perempuan Adonara setuju dengan mas kawin gading.
Sebagian dari mereka lebih suka kalau mas kawin diwujudkan dalam bentuk uang mengingat gading semakin sulit didapatkan, di samping harganya mahal dan dinilai sangat membebani masa depan keluarga.

Contohnya Ny Adelheid Benga (35) dari Desa Mewet, Adonara Barat, Flores Timur, misalnya,
menyebutkan, dari 10 batang gading yang diputuskan dalam proses adat koda pake pada tahun 1995, yang terpenuhi baru satu batang. Itu pun diserahkan pada tahun 2003 dan didapatkan dengan susah payah.

"Suami saya beli gading itu dari Waiwerang dengan harga Rp 11 juta, tetapi uang tersebut kami
pinjam dari tetangga. Saat itu pihak pemilik gading minta uang Rp 11 juta diserahkan secara tunai, baru gading boleh keluar dari rumah. Kami belum punya uang sebesar itu, akhirnya pinjam dari tetangga Rp 5 juta untuk menggenapi simpanan yang ada," tuturnya.

Benga melangsungkan "kawin lari" dengan Rensus pada tahun 1995. Ketika itu keduanya masih
duduk di SMA Waiwerang, Adonara Timur. Meskipun mereka kemudian hidup bersama sebagai suami istri, keluarga Rensus belum memberi mas kawin.

Setelah delapan tahun anak pertama mereka lahir, keluarga Rensus menyerahkan mas kawin
berupa satu batang gading, bala belee, yang nilainya Rp 11 juta.
Jika selama pernikahan Rensus dan Benga tidak meraih kesepuluh gading tersebut, berarti
pemenuhan sembilan gading lainnya akan dibebankan kepada anak laki-laki pertama mereka. Jika anak laki-laki pertama meninggal dunia, tanggung jawab itu dialihkan kepada anak laki-laki kedua.

Karena itu, tanggung jawab anak laki-laki mereka itu semakin berat sebab suatu saat anak itu
juga akan menikah dan harus memberi mas kawin kepada pasangannya. "Kondisi ini tentu amat
membebani keluarga besar Rensus. Bagaimanapun, mereka harus bertanggung jawab atas
kesepakatan adat mas kawin tersebut," papar Nasu Kopong.

Untuk meringankan utang mas kawin, sering dalam masyarakat Lamaholot satu atau dua anak
perempuan hasil perkawinan Benga dan Rensus diserahkan kepada keluarga besar Benga. Anak
perempuan itu akan menjadi hak penuh orangtua Benga.
Sampai tahun 1960-an satu batang gading dihargai dengan satu anak perempuan. Jika
Rensus memiliki 2-3 saudara perempuan, misalnya, saudaranya itu dapat diserahkan kepada
keluarga Benga. Di sana mereka dijadikan sebagai "pekerja".

Utang mas kawin itu tidak hapus meski sang istri meninggal terlebih dahulu dari suaminya. Tidak ada anggota keluarga yang bebas dari mas kawin. Tak heran jika utang mas kawin dari nenek dan kakek masih ditanggung para anak, cucu, atau cicit. Tak heran bila makin hari makin banyak pria asal Lamaholot yang menikah dengan perempuan dari
luar daerah tersebut. Misalnya, menikah dengan perempuan asal Jawa atau lainnya. Itulah budaya yang hingga kini masih terus dibahas eksistensinya.

Adonara, 'suka berperang', gemar merantau

DALAM catatan perjalanan Prof. Dr. Ernst Vatter sekitar tahun 1929-1930 yang disuguhkan dalam bukunya "Ata Kiwan", antropolog ini menyebut Adonara sebagai "pulau pembunuh". "Adonara yang kecil ini membuat sakit kepala pemerintah, karena di sana sering terjadi pembunuhan balas dendam, ... dendam keluarga atau dendam kampung masih merupakan kejadian sehari-hari di antara penduduk yang keras dan suka berperang ini". Demikian kesaksian Ernst Vatter mengenai watak kaum pria dari Nusa Tadon Adonara.

Judul buku Ata Kiwan (judul aslinya: Unbekannte Bergvolker im Tropichen Holland) sangat kuat menampilkan kesan penulis akan peradaban masyarakat yang sedemikian kolot, tidak hanya di pulau Adonara, tetapi juga di Flores Timur, Solor dan Alor, daerah yang "hampir tidak dikenal orang" saat itu.

Ata Kiwan lebih kurang artinya orang udik, dari pedalaman, dari gunung atau bukit yang jauh dari kota dan belum tersentuh peradaban modern.

Apa khabar Adonara saat ini? Pulau itu kini sudah menjadi gudang komoditi perkebunan dan
pertanian yang menyumbang tidak sedikit pendapatan asli daerah (PAD) Kabupaten Flores Timur. Apalagi setelah Lembata pisah dari Kabupaten Flotim, Adonara menjadi sandaran utama Kabupaten Flotim dalam mendulang PAD selain Solor dan sebagian ujung timur Pulau Flores. Tanaman perkebunan semisal kelapa, kemiri, kopi, cengkeh, vanili, pisang dan tanaman pertanian seperti padi, jagung, kacang ijo dan jarak merupakan tanaman yang diakrabi penduduk saat ini. Pulau kecil di ujung timur Pulau Flores itu juga dikelilingi selat yang kaya akan ikan. Potensi ini juga menjadi mutiara bagi masa depan Kabupaten Flotim.

Namun kendala utama yang dihadapi penduduk Adonara ialah sarana jalan raya. Banyak wilayah (desa/kampung) kantong produksi masih belum dilalui sarana jalan raya yang baik. Pulau itu hanya dilingkari satu ruas jalan propinsi dari Waiwerang-Sagu-Kolilanang-Waiwadan-Lite-Knotan dan kembali ke Waiwerang. Sedangkan ruas menuju kantong-kantong produksi semisal di Adonara bagian barat, masih sangat minim. Padahal, wilayah barat ini paling subur dan terkenal sebagai "gudang" kopi, kemiri, kopra, cengkeh, vanili dan pisang.

Meski dijuluki Ernst Vatter sebagai pulau pembunuh, namun penduduk pulau itu terbilang ramah terhadap pendatang yang bermaksud baik. Para pedagang dari hampir seluruh pelosok nusantara sudah singgah di beberapa pelabuhan di pulau itu semisal Sagu (pantainya kini menjadi perkampungan orang Buton), Waiwerang, Terong dan Waiwadan. Tiga dermaga laut terakhir ini sampai sekarang disinggahi kapal-kapal niaga dari Surabaya dan Makasar. Kontak dagang antar penduduk asli dengan pendatang tidak jarang berlanjut dengan kawin-mawin sehingga pulau yang juga acap disebut-sebut sebagai "tempat adu darah" itu terbuka bagi pendatang baru sejak dahulu kala.

Sakarang, Adonara pantas mendapat julukan baru sebagai pulau yang dihuni masyarakat yang gemar merantau. Tua muda, laki perempuan ramai-ramai mengadu nasib di tanah perantauan. Bahkan merantau boleh dibilang sudah menjadi trend kebanyakan penduduk Adonara untuk memperbaiki taraf hidup. Sudah biasa kaum isteri ditinggal pergi suaminya marantau. Isteri-isteri ini sering dijuluki jamal (janda Malaysia) karena suaminya merantau ke Malaysia. Negeri yang dituju umumnya adalah Malaysia, Singapura dan Brunai Darusalam. Kini, dengan berbagai kesulitan masuk ke Negeri Jiran Malaysia, orang Adonara sudah beralih ke Batam.

Dari perantauan, mereka mengirim biaya untuk anak-anak sekolah, membangun rumah dan
sebagiannya ditabung. Tidak sedikit generasi muda pulau itu sukses meraih gelar kesarjanaan dari uang yang dikirim keluarganya di perantauan. Ada pula warga yang merantau selama belasan tahun untuk mengumpulkan modal dan kembali merintis usaha. Ada yang membeli satu dua unit kendaraan yang dijadikan sebagai angkutan umum (penumpang dan barang). Truk-truk yang dibeli dengan uang yang diperoleh dari merantau itu dimodifikasi menjadi angkutan penumpang, diberi tempat duduk dan atap. Kini, tidak sedikit warga yang baru kembali dari merantau, mulai membeli mikrolet di Kota Kupang untuk dijadikan angkutan penumpang di pulau itu.

Adonara kini sudah berubah. Dulu sebagai `pulau pembunuh', pulau itu identik dengan perang dan
darah. Kaum pria ke mana-mana selalu membawa parang, tombak, anak panah dan busur. Kini
senjata-senjata itu sudah ditinggalkan, selain hanya sebagai simbol keberanian dan kepahlawanan.
Senjata generasi Adonara saat ini bukan lagi dopi noon gala (perisai dan rombak) tetapi tulis-basa
(menulis dan membaca). (dami ola)



PanCRUE [3:48 PM]__

KONFLIK DAN PERANG TANDING ADONARA


A. PENDAHULUAN

Sesungguhnya perang yang mendunia, merupakan suatu temuan sosial yang
selalu ada dalam dinamika sejarah kehidupan masyarakat. Menurut Margareth Mead
(1940) perang (kekerasan sistematis) adalah suatu temuan sosial yang dipelajari secara
tidak se-ngaja. Hal ini bisa saja bermula dari berbagai cerita rakyat yang menguraikan
bahwa jika masyarakat berada dalam situasi-situasi khusus, maka kekerasan
merupakan suatu bentuk responsif yang layak dipilih.

Pendapat ini dengan lugas memperlihatkan bahwa perang adalah sebuah produk
sosial yang ada dalam setiap dinamika sejarah kehidupan masyarakat. Jika demikian,
dapatkah perang dilenyapkan? Perang dan damai selalu tidak terlepas dari faktor
manusia itu sendiri. Keduanya menyentuh batin manusia tidak secara marginal dan
pariferal, melainkan menyentuh secara sentral dan menyeluruh. Berarti untuk
menghentikan perang tanding sangat tergantung pada orang-orang Adonara sendiri.

B.PRODUK SOSIAL

Perang tanding di Adonara, tidak seharusnya dipahami sebagai sebuah bentuk
kekerasan atau kekejaman bunuh membunuh semata. Tetapi sebagai sebuah hal mistis
religius yang menjadi perintah dari sebuah wujud tertinggi, Rera Wulang. Perang tanding
sesungguhnya mempunyai dimensi mistis religius menyangkut kebenaran hakiki
"mureng - nalang" (benar-salah), medhong-melang (baik-buruk), ata raeng-titeng
(kepemilikkan) yang terpaut langsung dengan sang pencipta atau Rera Wulang.

Prinsip ini barangkali tidak masuk akal atau sangat naif. Ernst Vatter dalam
bukunya Ata Kiwang mengulas dalam sebuah bab: Adonara, Pulau Pem-bunuh,
menjelaskan hal yang tidak masuk akal ini se-bagai berikut : "Di Hindia Belanda Bagian
Timur ti-dak ada satu tempat lain di mana terjadi begitu ba-nyak pembunuhan seperti di
Adonara. Hampir semua pembunuhan dan kekerasan, penyerangan dan keja-hatankejahatan
kasar lain, yang disampaikan ke Larantuka untuk diadili, dilakukan oleh orangorang
Adonara. Tak ada satu pulau lain di sebelah timur ke-pulauan Indonesia yang
mempunyai nama yang be-gitu jelek, baik untuk orang Eropa maupun untuk orang
pribumi dari wilayah-wilayah tetangga, seperti Adonara. Meski pulau ini dikaruniai
dengan keindahan alam dan kesuburan tanah, serta pen-duduknya dibedakan dari
orang-orang lain karena ke-cerdasannya, semangat kerja serta kemampuan menyesuaikan
diri dan semangat hidup yang tak terkendali.

Keadaan ini tidak saja disebabkan oleh kutuk dendam darah yang masih
menekan dan membelenggu tanah ini, dan tahun demi tahun masih selalu menuntut
korban, tetapi juga disebabkan oleh keadaan jiwanya dan keadaan rohani suku bangsa
ini: terlalu perasa terhadap penghinaan, yang paling sepele pun..., suatu kecenderungan
untuk bertingkah serta keangkuhan dengan suatu rasa rendah diri yang nyata terhadap
bangsa dan kebudayaan sendiri, kesenangan untuk berperang dan penumpahan darah,
dibarengi dengan kecurigaan dan ketakutan; akhirnya tak dapat disangkal bahwa ada
suatu kecenderungan untuk berlaku kasar dan kejam, atau mungkin lebih tepat
dikatakan suatu desakan yang tak tertahankan untuk menyelesaikan tegangan-tegangan
kejiwaan dengan tindakan-tindakan yang eksploitif.

Dapat dikatakan bahwa Adonara adalah suatu pulau yang tidak mempunyai
batas dan patokan; menurut pandangan Eropa rangsangan dan reaksi pada orang-orang
ini tidak sepadan, sebab dan tindakan kelihatannya tidak mempunyai hubungan yang
masuk akal".

Ketidakmengertian banyak kalangan atas hakekat perang tanding di Adonara,
membuat banyak orang berkesimpulan sama dengan Ernst Vatter. Padahal perang
tanding di Adonara merupakan sebuah produk sosial yang selalu ada dalam dinamika
kehidupan masyarakat.

Pertama, perang tanding diterima sebagai sebuah ritual mistis religius untuk
mencari kebenaran hakiki yang disebut koda. Koda adalah inti dari sebuah keyakinan
atas nilai kebenaran yang diperjuangkan. Koda mureng deino, koda nalang gokano.
Artinya ji-ka Anda benar, Anda tetap tegak berdiri. Apabila An-da salah, Anda harus
jatuh. Atau koda mureng tobu lewum, koda nalang pekeng lewum. Arinya, jika An-da
benar, Anda tetap menghuni kampung Anda. Jika Anda kalah, keluarlah dari kampung
Anda sendiri.

Dalam hal ini perang tanding diyakini sebagai suatu proses budaya, dimana
setiap orang dapat menemukan jati diri dan kehormatannya dalam mempertahankan
kebenaran dan keadilan. Pandangan ini membuat orang Adonara sangat menjaga
eksistensinya dan tidak melakukan pembunuhan segampang orang membalikkan
telapak tangan.

Manusia selalu dihormati sebagai makhluk ciptaan Tuhan tertinggi, milik "Rera
Wulang". Sehingga memperlakukannya secara tidak manusiawi sampai membunuhnya
tidak diperkenankan. Menghilangkan nyawa seseorang dengan sendirinya bermusuhan
langsung dengan Rera Wulang, yang konsekuensinya pemutusan hubungan langsung
(kenetung) dengan Tuhan.

Kedua, perang tanding sebagai keharusan pilihan penyelesaian konflik dan
solusi atau alternatif terakhir (last resort) karena jalan damai menemui jalan buntu. Hal
ini disebabkan oleh
1. Ketidak relaan pihak-pihak yang bersengketa mengakhiri konflik dan tetap
    mempertahankan kebenaran pandangan masing-masing.
2. Keinginan pihak-pihak yang bermusuhan, menunjukkan kehormatan atas
    perjalanan pencarian kebenaran hakiki atas obyek yang disengketakan.
3. Keyakinan, bahwa perang tanding dengan kekalahan pada salah satu pihak,
    dapat memberi bukti langsung siapa yang benar dan siapa yang salah.

Pilihan ini dapat memungkinkan dimulainya perubahan struktural yang diperlukan
untuk menghilangkan sebab-sebab fundamental terjadinya konflik. Hal ini dengan serta
merta membawa masyarakat pada kemandirian dalam menentukan sikap dan
keberpihakan pada satuan kelompok suku atau orang-orang kuat untuk
mempertahankan otonomi dengan tetap berpegang pada kepercayaan lokal yang
tradisional.

Dengan demikian perang tanding merupakan jalan untuk mengakhiri semua
gangguan psikologis terhadap kesetaraan yang telah ditetapkan secara lokal atau
menerima kenyataan adanya diferensiasi hirarkis. Setiap orang Adonara menyadari dan
menghargai kemanfaatan atau bahkan pentingnya berintegrasi ke dalam sebuah struktur
yang lebih luas yang diperoleh melalui perang tanding. Juga menyadari akibat yang
merugikan jika seseorang atau sekelompok orang mengambil bagian dalam jaringan
yang lebih luas dalam kondisi yang tidak menguntungkan dari sebuah perang tanding.

Ketiga, perang tanding sebagai ziarah harga diri. Tradisi suku mia (mia = malu),
lewotana gehi (gehi = tidak mau) atau lewotana mia, membuat orang Ado-nara
cenderung mengagungkan pembelaan harga diri melalui perang tanding. Lewotana ini
menyangkut ar-tian nyata maupun abstrak yang dijadikan sebagai ri-tual dan tabu dalam
menentukan perang tanding. Dalam masyarakat tradisional yang cenderung
mendekatkan diri dengan alam, tabu atau larangan selalu dijunjung tinggi. Melanggar
larangan atau yang tabu, dapat memicu dilakukan perang tanding.

Keempat, perang tanding di Adonara tidak sama dengan kerusuhan (riot) yang
sifatnya spontan karena banyaknya orang di suatu tempat (crowd). Perang tanding di
Adonara dilakukan melalui sebuah fase ritual yang sangat rumit, melalui puasa maupun
pantang, dan memakan waktu yang sangat lama. Bisa berminggu-minggu, berbulanbulan
bahkan sampai bertahun-tahun. Proses ini dimulai dari mula ekeng peri wato
untuk menyatukan niat antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam dan
antara manusia, alam dan Rera Wulang, sampai adanya petunjuk yang datang melalui
mimpi (nureng).

Mimpi ini kemudian dikaji dan dianalisa oleh orang-orang tertentu untuk mendapat
kepastian. Se-perti restu Rera Wulang, dan waktu untuk memulai perang tanding. Suatu
hal yang agak unik, adalah ke-tika seseorang pergi ke medan perang, ia tidak
membangun kesombongan di dalam diri untuk ber-perang atau membunuh orang. Yang
dibatini adalah, bagaimana koda itu dibawa kepada lawan, agar lawan dapat
membayarnya sebagai pelunasan hutang.

Kelima, dalam setiap perang tanding ada sportivitas. Masing-masing orang yang
berhadapan secara kejam dan ingin membunuh, tidak menyimpan dendam. Oleh karena
dendam dan permusuhan hanya berada pada pihak-pihak yang bersengketa. Ada tradisi
yang dihormati bersama: pagi perang, siang istirahat, sore perang lagi.

C.KONFLIK DI ADONARA

Konflik dalam artian luas dipicu atau selalu diawali oleh dua unsur yang
seringkali tidak disadari. Pertama, pengaruh eksternal masyarakat, seperti hasutan dari
orang-orang tertentu dan adu domba dari pihak-pihak yang mempunyai kepentingan
politis atau kepentingan irasional lainnya. Kedua, suasana batin atau faktor internal
masyarakat yang sudah lama menyimpan dendam, kejengkelan, amarah dan kebencian
terhadap orang tertentu atau golongan tertentu dalam masyarakat.

Apabila ditelaah, konflik di Pulau Adonara tidak sama dengan konflik sosial yang
melanda Indonesia seperti di Ambon, Kalimantan, Poso, Aceh dan Timor Timur
(sebelum merdeka). Konflik di Adonara, umumnya merupakan konflik nilai-nilai yang
hidup dalam masyarakat, baik nilai hidup antarpribadi maupun antarkelompok. Konflik ini
sangat dilatarbelakangi antara lain oleh hak-hak dasar, filsafat hidup, budaya dan citacita
tentang kehidupan bersama yang dibangun dalam lewotana.

Dengan demikian setiap konflik di Adonara harus dipahami secara utuh sebagai
manifestasi dari sejumlah gejala, yang dapat disoroti dari sudut pandang interaksi sosiokultural,
baik dalam kehidupan tradisional sebelum kemerdekaan Indonesia maupun
kehidupan moderen setelah kemerdekaan.

Sebelum kemerdekaan, konflik yang terjadi umumnya berhubungan dengan
perjuangan nilai-nilai hakiki yang hidup dalam masyarakat seperti keadilan, kedamaian
dan konsistensi penerapan hukum tidak tertulis (lewo murung atau lewo puro lakang).

Dimensi konflik seperti ini tidak meluluh negatif, tetapi bisa memperbaiki kehidupan
sosial masyarakat dalam memprioritaskan nilai-nilai kebenaran, kejujuran, tanggung
jawab dan kesejahteraan umum.

Adanya konflik, terutama antarsuku akibat interaksi antara dua pihak yang
mengandung aksi dan reaksi. Menurut Sellin (1938), konflik suku atau etnis yang
berdampak kekerasan disebabkan oleh:
1. Adanya suatu kelompok kebudayaan bermigrasi ke daerah kebudayaan
    lain, atau norma dari suatu ke-lompok kebudayaan diperluas atau
    diberlakukan pa-da kelompok kebudayaan lain.
2. Ada peraturan yang tidak tertulis yang dimiliki oleh kelompok budaya
    tertentu berbenturan pada batas kebudayaan kelompok lain.

Meskipun konflik di Adonara memiliki hal-hal yang bersifat partikulir, namun
secara umum disebabkan oleh:

Pertama, faktor struktural terutama kesenjangan budaya atau berbenturannya
batas budaya nalang-mureng, medhong-melang, titeng-ata raeng, ina bine wae bumang
(perempuan). Konflik semacam ini berkembang menjadi fungsional jika muncul aksi dan
reaksi atas pengingkaran konsensus mengenai kepentingan menjaga batas budaya
tersebut. Kedua, faktor pemercepat konflik, terutama pengaruh yang memicu meluasnya
konflik yang melibatkan pihak ketiga dengan eskalasinya meluas menjadi perang
tanding.

Konflik yang diselesaikan melalui perang tanding, dapat memungkinkan
dibangunnya tatanan hidup baru, seperti : prinsip-prinsip harmoni, yakni:
1. Menjaga agar lewotana aken data. Lewotana tidak boleh dibuat hancur, baik
    secara fisik maupun tatanan kehidupan sosial kemasyarakatannya. Apabila ada
    perang tanding harus dilakukan di luar desa (lali dulhing).
2. Setia pada kesepakatan tidak tertulis yang disebut "nayung bahyang".
    Kesepakatan ini merupakan perjanjian atau konsensi perang antara suku dengan
    suku, atau antara wilayah dengan wilayah.

Kedua, dengan perang tanding tercipta sirkulasi kepemimpinan tradisional dalam
setiap tatanan suku atau desa. Ada adigium klasik; perang tanding selalu melahirkan
pemberani (meang atau menenoneng) dan pemimpin (deket). Namun seorang
pemberani, tidak selamanya pemimpin. Deket atau pemimpin biasanya muncul dan
diakui secara alamiah. Selain karena keberaniannya, ia juga memiliki kemampuan
sebagai ahli perang dan menjadi orang kuat, dimana keberadaannya ibarat sebuah
pohon yang rindang, tempat semua orang dapat berteduh dan meminta perlindungan.

Lahirnya deket atau pemimpin tradisional tidak selamanya dari lewo alapeng
(pemilik kampung ha-laman) atau wruing koleng (sulung) dalam sebuah suku. Peranan
yang silih berganti ini, selalu memunculkan konflik baru dalam kehidupan masyarakat
tradisional yang disebut pukeng wewa kiring. Konflik semacam ini selalu berkembang
menjadi perang tanding yang memungkinkan di Adonara ada istilah kakang kemuha
tobu lewo, aring pekeng lewo atau sebaliknya aring kemuha tobu lewo, kakang pekeng
lewo. Artinya yang kuat tinggal di kampung halamannya, sedangkan yang kalah
tinggalkan kampung halamannya. Dalam tatanan hidup sekarang, hal ini sangat rentan
terhadap konflik. Karena adanya antagonisme antara kekuatan sosial di Adonara yang
cenderung berorientasi ke masa lalu dan secara konservatif menggugat kemapanan
peranan setiap orang dalam proses perubahan.

Ketiga, konflik yang diselesaikan melalui perang tanding juga disadari membawa
akibat kebinasaan dan kehancuran yang membuat manusia tercerai berai meninggalkan
kampung halamannya, harta bendanya dan kehilangan harga diri. Akibat perang tanding
di Adonara (sebelum kemerdekaan) ada suku-suku yang kehilangan segala-galanya,
dan menjadi budak suku lainnya.

Ada suku yang tidak berdaya dan mencari perlindungan pada suku lainnya. Ada
suku yang menang perang tetapi lepat nuho raang rehika, tidak mampu melaksanakan
kewajiban perang kepada pihak yang membantunya dalam perang, maka harus
membagikan harta bendanya, tanah sampai manusia kepada ata deket yang lazim
disebut "sige bedi borang nara".

Setelah kemerdekaan, konflik di Adonara yang meluas sampai perang tanding
memang sering terjadi tetapi pemicunya bukan hanya faktor struktural kesenjangan
budaya atau berbenturannya batas budaya saja. Konflik yang muncul dewasa ini kiranya
dipahami secara utuh sebagai manifestasi dari sejumlah gejala: pertama, adanya
antagonisme antara kekuatan sosial di Adonara yang cenderung berorientasi ke masa
lalu dan secara konservatif menggugat kemapanan peranan setiap orang dalam proses
perubahan. Gejala ini merupakan perwujudan dari menguatnya revolusi identitas yang
bertali temali dengan stereotip prasangka dan reproduksi rancang bangun identitas baru
dalam ruang yang berubah.

Pertama pada tingkat individu ada memori kolektif masyarakat yang dibangun
oleh konflik masa lalu, terutama melalui bahasa tutur. Ada budaya yang salah di
Adonara, yakni mempercayai tutur orangtua sebagai doktrin. Persoalannya, jika
orangtua yang menuturkan cerita koda kiring alapeng, dalam arti tahu betul persoalan
dan menuturkannya secara benar, maka yang diwariskan adalah kebenaran koda kiring.
Sehingga generasi baru dapat memahami secara benar perubahan atau berbeloknya
sejarah keberadaan mereka.

Sedangkan apabila orangtua mereka tidak tahu apa-apa, maka anak
bersangkutan akan menangkap cerita tanpa isi. Cerita yang salah ini kalau diyakini
sebagai doktrin dengan sendirinya akan berbenturan dengan pandangan pihak lain yang
benar. Hal ini kalau tidak dimediasi, maka akan tetap memicu konflik yang dapat
berkembang menjadi perang tanding. Oleh karena masing-masing pihak akan selalu
merasa benar.

Kedua, terjadi penyimpangan atas aturan yang tidak tertulis, kesepakatan atau
nayung bahyang oleh karena dalam berinteraksi masing-masing pihak secara individu
atau berkelompok (suku) merasa lebih dari yang lain.
Ketiga, ada ketimpangan atau ada sumber penghasilan yang menjadi rebutan,
terutama tanah atau kebun.

4. SOLUSI PERANG TANDING

Untuk mengatasi konflik dan perang tanding di Adonara, maka perlu diupayakan:

Pertama, persoalan yang menjadi akar konflik hendaknya benar-benar mampu
diungkap secara gamblang, meskipun fakta yang mengemuka mungkin sangat tidak
mengenakkan bagi salah satu suku. Menuntaskan segala permasalahan yang menjadi
sumber konflik tetap merupakan agenda terpenting bagi pencegahan perang tanding.
Bila hal ini tidak terpecahkan, maka wilayah konflik tetap menjadi api dalam sekam yang
apabila ditiup oleh angin sedikit pun akan membara dan menyala.

Kedua, perlu kebesaran hati untuk memahami bahwa berbe-loknya sejarah tidak
bisa dibeli. Tetapi yang kita butuhkan ada-lah menegakkan posisi tawar guna
menemukan solusi terbaik penyelesaian berbagai konflik atau kekerasan sistematis
dalam bentuk perang tanding. Untuk itu diperlukan kemauan, kerelaan dan kerendahan
hati dari semua elite Adonara untuk mengem-bangkan sirkulasi kepemimpinan baik
formal maupun informal dalam menyelesaikan setiap konflik dan perang tanding.

Ketiga, untuk kasus Tobi-Lewokeda kiranya selain upaya pemerintah yang
sementara ini sedang berjalan, dibutuhkan pula kemampuan atau sikap disorientasi
sosial dalam perilaku masyarakat maupun elite Adonara untuk mengembangkan
prosedur resolusi konflik yang di dalamnya terdapat upaya:
1. Mengembangkan proses mediasi dan fasilitasi untuk mengakhiri konflik
    dan perang tanding.
2. Mendesain atau merancang konsepsi keterlibatan pihak ketiga yang
    benar-benar netral, terutama suku atau desa-desa di Adonara yang
    pernah membangun konsensus atau nayung bahyang dengan kedua
    belah pihak yang berperang tanding, guna memperkecil ruang
    dilakukannya perang tanding.

` Keempat, perang tanding di Adonara dapat dihentikan jika persoalan sepeleh
yang seharusnya ditangani secara cepat tidak dibiarkan berlarut dan perlu kesadaran
semua pihak untuk menyelesaikan setiap persoalan potensial menimbulkan konflik
berkepanjangan sampai perang tanding.

5.UNTUK DIRENUNGKAN

"Bisakah dihentikan perang tanding di Pulau Adonara?" Tanpa ada niat untuk
menggurui pembaca, penulis mengatakan bahwa perang tanding di Adonara bisa
dihentikan; asal ada kerendahan hati, kemauan dan kerelaan dari orang-orang Adonara
untuk menyelesaikan setiap konflik yang terjadi dengan jalan damai.

P I S S

· Penulis,
. pengamat sosial,

Marsel Tupen Masan

( Untuk Bpk. Marsel Tupen Masan, kami dari PanCrue meminta maaf yang sebesar-besarnya karena memuat tulisan ini tanpa sepengetahuan Bpk. Tidak ada maksud untuk melecehkan. Kami hanya ingin tulisan ini dapat dibaca semua masyarakat yg peduli adonara)

PanCRUE [2:51 PM]__

TEMUTU TO'U


A. ASAL – USUL ORANG ADONARA

Orang pertama Adonara adalah turunan seorang wanita bernama Sedo Lepan.
Wanita ini adalah manusia paling pertama yang menghuni Nusa Tadon
Adonara.TubuhNya ditumbuhi bulu lebat. Wanita pertama ini muncul bersama timbulnya
gunung Bolen (ILEGERE ).
Pada suatu saat terjadilah suatu keajaiban yang luar biasa dimana tubuh Sedo
Lepan ini “pecah” dan keluarlah seorang wanita lagi yang kemudian dikenal dengan
nama Kewa Sedo Bolen. Pada saat itu, dipulau Adonara belum ada manusia lain selain
wanita ini. Selama bertahun – tahun Ia hidup sendirian di lereng gunung Boleng.
Kemudian suatu ketika, datanglah seorang laki – laki dari pantai selatan pulau Lembata
yang bernama Kelake Ado Pehan. Ia diusir dari Lembata karena dituduh sebagai
suanggi yang menyebabkan meletusnya gunung Adowojo. Ia lari dengan menggunakan
sebuah perahu yang terbuat dari sebatang pohon kelapa. Dengan berbekalkan tuak
satu tabung bambu (nawing) dan piso pengiris tuak ( mere ), Dia menyeberangi lautan
dan terdamparlah Dia di pantai utara Adonara.
Setelah berdiam sejenak, Dia memandang sekelilingNya sunyi tiada manusia.
Kemudian dari kejauhan dilereng gunung Boleng tampaklah asap api, maka
bergegaslah Dia ketempat asap tadi berasal. SesampaiNya disana didapatNya seorang
perempuan tak lain adalah Kewae Sedo Bolen. Betapa terkejutnya Kelake Ado Pehan
karna manusia ini badanNya penuh ditumbuhi buluh lebat. DpikirNya pasti penunggu
gunung Bolen ( Nitun Harii). Setelah berbincang sebentar, diajakNya minum tuak
bekalNya tadi. Setelah menghabiskan tuak tiba – tiba Kewae Sedo Bolen mabuk dan
tertidur. Kesempatan ini digunakan Kelake Ado Pehan untuk mencukur seluruh buluh
yang ada ditubuh perempuan itu engan pisau yang dibawa tadi. Betapa kagetNya Dia
ternyata perempuan ini bukan penunggu atau manusia jadi – jadian, maka disisahkan
buluh disekitar ketiak dan dibawah pusar.
Tak selang beberapa waktu kemudian keduanNya menikah. Dari pernikahan
kedua kmanusia pertama ini kemudian lahirlah tujuh orang putra, yang setelah besar
dan karena keadaan dan kondisi. Mereka menyebar keseluruh wilayah dibawah lereng
gunung Boleng. Nama ketujuh putra Kewae Sedo Bolen dan Kelake Ado Pehan dan
wilayah menjadi tempat keturunanNya :

1.LADO IPA JARANG
KeturunanNya ada di Boleng

2.MADO PALING TALE
KeturunaNya ada di Doken

3.BEDA GERI NIHA
KeturunaNya ada di Nihaona

4.DULI LEDAN LABI
KeturunanNya ada di Lewoduli

5.KIA KARA BAU
KeturunanNya ada di Wokabelolon – Kiwangona

6.KIA LALI TOKAN
KeturunanNya ada di Lewobelek – Adonara Barat

7.SUE BUKU TORAN
KeturunanNya ada di Lewojawa – Lamahala

Karena semakin ramai penduduk adonara maka datanglah beberapa suku dari
luar Adonara yang berasal dari timur yang disebut Ata Serang – Goran dan dari barat
yang disebut Ata Sihna – jawa. Dan juga dari Bugis – Bonerate karena ada pengaruh
sultan Bugis. Dan juga masih ada lagi manusia – manusia yang berasal dari keajaiban
seperti lahir dari telur, bambu, kelapa, awan ataupun keajaiban –keajaiban lain. Semua
manusia ini yang sekarang menjadi masyarakat Adonara.

B. ASAL – USUL NAMA ADONARA

-Nama Adonara terdapat dua pengertian :

 Adonara berasal dari kata “ADO” dan “NARA”.
Ado ini mengingatkan orang Adonara akan pria pertama yang hidup dipulau
Adonara yakni Kelake Ado Pehan.
Nara berarti kampung, bangsa, kaum kerabat.
Jadi Adonara artinya Ado punya kampung, Ado punya suku bangsa,Ado punya
keturunan atau kaum kerabat.

 Adonara juga berasal dari kata Adok Nara
Adok berarti mengadu domba
Nara berarti kampung, suku bangsa, kaum kerabat, golongan, puak.
Jadi Adoknara artinya mengadu domba warga antar kampung, suku bangsa,
kaum kerabat
Pengertian ini merujuk pada watak khas orang Adonara yang gemar berperang,
jika hendak berperang, maka para pihak akan menghubungi “Nara” yakni
keluarga, saudara, kaum kerabat di kampung lainnya agar memihak kepada
mereka dalam perang tanding.

 Adonara juga sering dikaitkan dengan Adu Darah,yakni perang tanding yang
terjadi dipulau itu.Yang pada masa dahulu dikenal dengan perang antara Paji
dan Demon.

-Sedangkan nama wanita pertama Adonara Kewae Sedo Bolen sendiri diabadikan pada
nama gunung yakni Gunung Boleng atau Ile Boleng.

C.AMANAT UNTUK GENERASI PENERUS NUSA TADON ADONARA

Bahwa sampai hari ini orang beranggapan bahwa Orang Adonara masih identik
dengan sifat – sifat keras dan selalu ingin membunuh. Padahal tindak kekrerasan bahkan
sampai membunuh kalau ada masalah yang menyangkut hal – hal prinsip semisal harkat
dan harga diri pribadi, suku dan kampung,maka pesan yang harus dilakukan orang
Adonara yakni bagaimana menghilangkan image orang luar tentang perilaku keras itu.
“Pana pai pupu taan tou kirin ehan taan gelekat Nusa Tadon adonara”

Oleh.
Yansen RianTobi.


PanCRUE [2:36 PM]__

welkam prend

jelleQdesigN

 

jelleQdesigN

Name

URL or Email

Messages(smilies)




archivez


date: March 2007
date: January 2008




Visitor



 

member

Login

UserID :  

Pswrd : 

 

Password Reminder

member Registration

Untuk mendapatkan email gratis di sini anda harus

Klik di Sini

linkz

 

Search>>>

Google

mARZ PANUSA


Dari jauh Nusa Tadon bersatu dalam paguyuban
Satu tekad, satu niat tuk bersatu
Satu hati, satu rasa tuk berpadu

Dari lewo Adonara berkumpul dalam musyawarah
Kita satu dalam satu suara
Kita hidup, kita selalu gembira

Reff.
Mari bersukaria
Mari menggalang persatuan
Mari menjunjung persaudaraan
Nusa Tadon Adonara

PanCRUE


Milis

Click NOW !
Click to join panusamail


IklanGratis

BravoAdonara
adonara malang online


BravoAdonara
adonara malang online


BravoAdonara
adonara malang online


Bagi teman 2X yang ingin mengiklankan barang atau jasanya silahkan kirim lewat email ke ADONARA@PANUSA.ZZN.COM iklan yang dianggap layak akan kami tayangkan di sini. -*PanCRUE

March 22, 2007, 2:47 am : Malang

Email: ADONARA@PANUSA.ZZN.COM
Segala kritik saran bukan caci maki silahkan kirim ke alamat di atas.

Paguyuban Nusa Tadon Adonara Malang Paguyuban Nusa Tadon Adonara Malang Paguyuban Nusa Tadon Adonara Malang Paguuban Nusa Tadon Adonara Malang